Membangun kepercayaan masyarakat atas
pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara publik merupakan kegiatan yang
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan
penduduk tentang peningkatan pelayanan publik.
Sebagai upaya untuk mempertegas hak
dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk, terwujudnya tanggung jawab
negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan
kualitas dan menjamin penyediaan
pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi diperlukan norma hukum yang memberi
pengaturan secara jelas. Atas dasar pertimbangan tersebut diatas pemerintah
telah mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
.
Dengan adanya undang-undang Pelayanan
Publik tersebut wartawan majalah “LIBASS” mencoba mengadakan pengamatan dan
penelusuran di beberapa Kementerian, disinyalir Pelayanan Publik yang diterima
oleh warga negara dan penduduk yang dilakukan penyelenggara Negara belum
sepenuhnya maksimal sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang No.25 Tahun 2009
tersebut, bahkan ditemukan beberapa penyimpangan / pelanggaran terhadap asas
penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Belum
lama ini salah seorang Pejabat Pusat Kajian dari salah satu Kementerian yang
tidak mau disebutkan namanya, menyampaikan kepada Redaksi Majalah “LIBASS”
bahwa salah satu pasal yang disinyalir selama ini dilanggar / tidak dipatuhi
oleh Penyelenggara Pelayanan Publik adalah
Pasal 17 a Undang-Undang No.25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang
berbunyi / menyatakan “Pelaksana (Pejabat, Pegawai, Petugas, dan setiap orang
yang berkerja didalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan Pelayanan
Publik), dilarang merangkap sebagai Komisaris atau Pengurus Organisasi Usaha
bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi Pemerintah, Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Yang bersangkutan juga menambahkan
bahwa pada kenyataannya sangat banyak para Pejabat Struktural dari Kementerian
menduduki dan merangkap jabatan Komisaris Utama, Komisaris di beberapa Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah dengan gaji jutaan bahkan puluhan jutaan rupiah, dimana hal ini
disinyalir /diduga melanggar aturan/asas penyelenggaraan Pelayanan Publik;
bahkan perlu di pertanyakan apakah gaji yang diterima oleh para Komisaris
Utama, Komisaris tersebut dapat di pertanggung jawabkan sesuai dengan aturan
yang berlaku, atau hal tersebut dapat dikatagorikan “Gratifikasi”, demikian
ujarnya.
Ombudsman sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik, baik yang diselenggarakam oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, diharapkan segera turun tangan serta bersikap tegas untuk meneliti dengan seksama, bahwa apakah benar informasi yang menyatakan bahwa “Pelaksana Pelyanan Publik tidak boleh merangkap Komisaris, dll sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
.
Disamping itu guna menghindari kerugian negara
yang lebih besar, Ombudsman pada kesempatan pertama dapat juga meneliti
kebenaran dari informasi yang menyatakan bahwa gaji yang diterima para Pejabat
Struktural dari suatu Kementerian yang merangkap Komisaris Utama dan Komisaris
dilingkungan BUMN /BUMD, dapat dikatagorikan sebagai “gratifikasi” karena tidak
sesuai dengan yang di amanatkan oleh undang-undang di maksud."LIBASS"
Posting Komentar